Dasar Pertamina. Mau naikkan harga BBM aja pakai trik
macem2. Yang RONnya terlalu rendah lah, tidak ramah lingkungan lah. Premium RON
nya cuma 88, tapi di jaman Orde Baru 76-86, dan di Amerika masih ada lho yang
87. Tapi ga ada tuh laporan mesin mobil yang rusak gara-gara menggunakan BBM
dengan RON < 90.
Sebelum persoalan tambah runyam, buru-buru Dirut
Pertamina Dwi Sucipto memberi keterangan bahwa Premium tidak dihapus. Pertalite
dipasarkan karena adanya sisa bahan produksi (apa namanya aku lupa), yang
dengan menambahkan additif RONnya bisa jadi 87-90 (di atas premium tapi masih
di bawah Pertamax) dan harganya jadi sedikit lebih mahal dari Premium (tapi
masih di bawah Pertamax). Padahal,
menurut beberapa pakar, seharusnya harga Pertalite bias di bawah Premium.
Katanya juga untuk mengurangi subsidi pada premium. Berdasarkan
simulasi yang pernah saya lihat, dengan asumsi harga minyak dunia 60
USD/barrel, kurs 1 USD = Rp 13.000,- dan harga premium (saat ini) Rp 7.400,-/liter,
Pertamina sudah untung Rp 650 milyar/hari. Subsidi dari mana?
Bagaimana juga dengan berita adanya BBM yang
diselundupkan ke luar negeri dengan cara memasang pipa bawah laut dari kilang
minyak langsung ke kapal tanker penyelundup itu?
Atau menyedot langsung dari kapal tanker Pertamina?
Ya sudah, kita ga usah berdebat soal ini. Yang penting
gimana Pertamina bisa melaksanakan kehendak rakyat yang tercantum dalam UUD
1945: memanfaatkan kekayaan alam Indonesia sebesar-besarnya untuk kepentingan
rakyat banyak. Dulu JK bikin kebijakan mengkonversi minyak tanah ke elpiji,
sekarang harga elpiji dinaikkan. Mau pakai kayu bakar, hutan sudah dibabat
habis, pakai batubara, batubaranya dikeruka habis-habisan dan dijual ke luar
negeri. Oh, iya pakai biogas aja, atau bio solar (yang dibuat dari minyak biji
jarak atau cangkang buah kelapa sawit?).
Rakyat maunya cuma hidup nyaman, tenang, harga kebutuhan
hidup (termasuk BBM) cukup terjangkau, ga ada korupsi, ga dibohongi dan
dibodohi pejabat. Wis, gitu aja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar