Mengemis adalah perbuatan meminta sesuatu, biasanya uang,
kepada orang lain. Dengan mengharap belas kasihan dan keikhlasan si pemberi, ‘sak
welasé’.
Keberadaan pengemis di kota besar sudah jadi masalah sosial
yang cukup ‘mengganggu’ sampai-sampai Kepala Daerah setempat (ibukota misalnya)
harus mengagendakannya dan menugaskan Satpol PP untuk men-’sweeping’ gepeng
(gelandangan dan pengemis) dari jalan-jalan protokol.
Pengemis bahkan sudah menjadi profesi. Barusan ramai
diberitakan seorang pengemis yang ketika di’sweeping kedapatan membawa uang Rp
25 juta (!) hasil kerjanya selama sehari itu. Di desanya pengemis itu dikenal
sebagai orang kaya yang memiliki rumah mewah. Suatu profesi yang amat
menjanjikan, walaupun harus berpanas-panas di bawah terik matahari atau
kehujanan.
Tapi tentu saja masih banyak pengemis yang benar-benar
miskin. Mereka memang tidak punya pilihan lain untuk mendapatkan nafkahnya.
Kalau untuk yang begini ini, ya tugas pemerintah (Kementrian Sosial) untuk
menangani dan mengentaskannya.
Memang cukup pelik masalah pengemis ini. Apa yang bisa kita
lakukan. Di berbagai sudut kota sering terlihat spanduk bertuliskan : “Jangan
beri uang kepada peminta-minta. Beri mereka pekerjaan.” Imbauan ini tentu tidak
berarti apa-apa bagi yang menjadikan mengemis sebagai profesi. Lha wong mefreka
kan sudah punya pekerjaan tetap dengan penghasilan luar biasa, melebihi gaji
PNS golongan IIIA (sarjana).
Ga usah nyalahin siapa-siapa. Kalau kamu ga mau
berkontribusi dalam program ‘pengemis kaya’ tersebut ya ga usah kasih uang. Bagi
yang merasa nyaman dengan profesinya sebagai pengemis, ya cobalah untuk
ber-wiraswasta dan beralih profesi dengan modal yang sudah kalian kumpulkan
dari profesi itu (yang cukup banyak pula jumlahnya). Yang masih mengemis, ya
jangan di jalanan yang berbahaya bagi keselamatanmu maupun pengguna jalan
lainnya.
Pengemis itu sekarang ada di mana-mana kok. Di kantor
pemerintah, misalnya. Liat aja setiap ada kegiatan pemda, ultah kabupaten
misalnya, pasti ada tim yang mendatangai perusahaan-perusahaan untuk minta
‘sumbangan wajib’ (sumbangan kan harusnya sukarela, tapi ini wajib) dengan
jumlah tertentu. Istilahnya memang sumbangan, tapi sama aja dengan mengemis.
Masih mendingan pengemis yang minta ‘sak welasé’. Atau intitusi lainnya yang
‘memaksa’ kita membeli undangan atau kalender sejumlah yang mereka tentukan.
Jadi, lebih kita bertindak bijak dalam menyikapinya.
(foto-foto dalam tulisan ini diambil dari Google Image. Mohon ijin pada teman-teman yang sudah mem-postingnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar