Jumat, 24 April 2015

PERTALITE DATANG, PREMIUM HILANG?



Dasar Pertamina. Mau naikkan harga BBM aja pakai trik macem2. Yang RONnya terlalu rendah lah, tidak ramah lingkungan lah. Premium RON nya cuma 88, tapi di jaman Orde Baru 76-86, dan di Amerika masih ada lho yang 87. Tapi ga ada tuh laporan mesin mobil yang rusak gara-gara menggunakan BBM dengan RON < 90.



Sebelum persoalan tambah runyam, buru-buru Dirut Pertamina Dwi Sucipto memberi keterangan bahwa Premium tidak dihapus. Pertalite dipasarkan karena adanya sisa bahan produksi (apa namanya aku lupa), yang dengan menambahkan additif RONnya bisa jadi 87-90 (di atas premium tapi masih di bawah Pertamax) dan harganya jadi sedikit lebih mahal dari Premium (tapi masih di bawah Pertamax). Padahal, menurut beberapa pakar, seharusnya harga Pertalite bias di bawah Premium.



Katanya juga untuk mengurangi subsidi pada premium. Berdasarkan simulasi yang pernah saya lihat, dengan asumsi harga minyak dunia 60 USD/barrel, kurs 1 USD = Rp 13.000,- dan harga premium (saat ini) Rp 7.400,-/liter, Pertamina sudah untung Rp 650 milyar/hari. Subsidi dari mana?




Bagaimana juga dengan berita adanya BBM yang diselundupkan ke luar negeri dengan cara memasang pipa bawah laut dari kilang minyak langsung ke kapal tanker penyelundup itu? 






Atau menyedot langsung dari kapal tanker Pertamina?











Ya sudah, kita ga usah berdebat soal ini. Yang penting gimana Pertamina bisa melaksanakan kehendak rakyat yang tercantum dalam UUD 1945: memanfaatkan kekayaan alam Indonesia sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat banyak. Dulu JK bikin kebijakan mengkonversi minyak tanah ke elpiji, sekarang harga elpiji dinaikkan. Mau pakai kayu bakar, hutan sudah dibabat habis, pakai batubara, batubaranya dikeruka habis-habisan dan dijual ke luar negeri. Oh, iya pakai biogas aja, atau bio solar (yang dibuat dari minyak biji jarak atau cangkang buah kelapa sawit?).







Rakyat maunya cuma hidup nyaman, tenang, harga kebutuhan hidup (termasuk BBM) cukup terjangkau, ga ada korupsi, ga dibohongi dan dibodohi pejabat. Wis, gitu aja


Minggu, 12 April 2015

AKIK ... OOO ... AKIK

Sepengetahuanku sejak kecil aku mengenal akik sebagai batuan biasa, lalu digosok hingga mengkilat dan dijadikan mata cincin laki-laki. Di Martapura, Kalimantan Selatan, banyak pengrajin batu akik. Kalau liburan, dengan teman-teman aku main di sungai yang dangkal airnya dan banyak batuan. Kami memilih yang menarik warnanya, hitam, hijau lumut, merah hati, coklat susu, merah muda, lalu membawanya ke tukang gosok batu dan membuatnya jadi batu perhiasan.

Biasanya di sungai sungai yang menjadi aliran lahar seperti di kaki gunung Merapi, Yogyakarta, banyak dijumpai batuan yang ketika digosok kan menjadi akik.










Batu akik sebenarnya merupakan sedimen kulit bumi yang berasal dari magma gunung berapi (panasnya tinggi sekali tentunya) lalu mendapat tekanan yang cukup tinggi. Batuan ini umumnya bersifat anorganik. Yang organik menjadi barang tambang, batubara misalnya.Sedangkan batu mulia yang aku kenal antara lain blue saphire, intan, alexandrie. Tentu saja harganya cukup mahal, karena langka dan agak sulit menggosoknya.  Harganya bisa ratusan juta hingga milyaran rupiah.

Lha sekarang kok akik jadi barang yang amat mahal dan diburu banyak orang. Kadang hingga mempertaruhkan naywa segala. Lihatlah berita di TV. Banyak orang menyerbu lahan kosong di Depok, beebut menggali tanah untuk mendapatkan akik. Ada lagi yang berbondong-bondong ke bukit di Sumatera. Dan, jatuhlah korban karena tanah bukit longsor.









Fenomena apa ini? Orang jaman sekarang mudah terpukau oleh sesuatu yang belum tentu benar. Akik bisa mendatangkan rezeki, bisa memberikan wibawa, bisa menyembuhkan penyakit, bisa memperlancar bisnis, bisa mendatangkan jodoh. Wah, kalau gini ya akik sudah jadi klenik. Musrik hukumnya. Ingat kasus Ponari di Jombang dulu? Dengan sebuah batu yang dimilikinya bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Astagfirullah.
Orangpun mau-maunya membayar mahal untuk sebuah batu. Bisa ratusan juta lho. Bahkan fenomena ini sampai mengilhami penulis skenario macam H. Imam Tantowi untuk memasukkannya dalam script sinetronnya.





Tapi, namanya jug trend. Sebentar juga akan pudar. Dulu ikan lohan (ikan buruk rupa yang jidatnya benjol itu) luar biasa menyedot perhatian dan mahal harganya. Teman saya yang peternak lohan akhirnya membuangnya ratusan ikan lohan ke sungai. Karena harganya yang merosot setelah trend nya berlalu.




Jangan-jangan, saya curiga, karena hidup tambah sulit, cari kerjaan susah, harga-harga (BBM, elpiji, sembako, elektronik, sepeda motor matic, cabe, beras, ongkos angkot, dll) pada naik semua ga mau turun, banyak orang mulai berpikir pendek. Cari batu aja, kalau dapet kan lumayan duitnya. Tanpa memperhitungkan risiko dan keselamatan dirinya.
Batu ya cuma batu, apun namanya.