Senin, 30 Maret 2015

HUTANKU DERITAKU










Anda terkesan dengan pemandangan didalam hutan tropis seperti ini? Mungkin dulu masih banyak kerimbunan huitan yang dapat kita nikmati, tapi sekarang?

Atau keindahan hutan lainnya seperti yang ini:


























atau ini :























Pagi hingga sore hari daun-daunnya yang lebat akan memproduksi oksigen dalam jumlah besar. Jika anda suka berlatih untuk mengaktifkan tenaga dalam dengan memanfaatkan aura positif dalam tubuh anda, berbaringlah di rerumputan yang basah oleh embun dalam hutan ini, dan hiruplah udara segar di sekitar anda. Selain oksigen tubuh anda juga akan menyerap aura positif yang dipancarkan oleh pohon-pohon tinggi di sekeliling anda.

Tapi, apa yang bisa anda dapatkan dari hutan yang sengaja dirusak seperti ini?




















Memang, negara mendapatkan devisa dari pembabatan hutan ini. Tapi pejabatnya juga dapat uang dari para cukong yang mendapatkan HPH secara kurang wajar dan kurang ajar. Rakyat, seperti kita, hanya dapat tanah longsor, banjir, asap dari kebakaran hutan, punahnya banyak flora dan fauna langka. Kalau kita ngambil beberapa potong kayu (masih ingat kasus nenek Asyani kan?) hukuman penjara lah yang didapat.
SELAMATKAN HUTAN KITA !




Minggu, 22 Maret 2015

HUKUM BAGI JELATA

Ketika si Jelata dihadapkan sebagai pesakitan, maka ‘hukum’ menampakkan sosoknya yang nyata: tegas, tanpa kompromi, tidak pandang bulu, yang bersalah harus dihukum. Wajah topeng ‘kemanusiaan’pun lantas boleh ditanggalkan. Lihat saja kasus nenek Asyani (70 tahun) si ‘pencuri kayu jati’ di wilayah hutan Perhutani.

Ada banyak kasus serupa. Kata orang, hukum itu seperti piramid terbalik: tajam di bawah, tapi tumpul di atas. Di sebuah kampung yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pengemis, maka menjadi pesuruh kantor merupakan hal yang keliru. Di sebuah negara yang pembabat hutan besar-besaran, pemilik HPH ilegal, dan perampok dana reboisasi hutan bisa lolos dari jerat hukum, maka memungut ranting pohon  yang luruh di dalam hutan jati milik Perhutani bisa dianggap kejahatan besar. Konon kita bisa membeli kayu jati gelondongan dari oknum petugas Perhutani. (Ooo, Gusti nyuwun ngapuro).

'Barang bukti' seperti inilah yang ditemukan petugas Perhutani di rumah pak Cipto, yang, katanya, milik Ayani. Si nenek mengaku bahwa itu adalah kayu miliknya, yang ditebang oleh alharhum suaninya di haran milik mereka, 5 tahun yang lalu. Bagaimana mungkin nenek renta berusia lanjut itu mampu mengangkut kayu sebanyak itu dari gudang Perhutani?





Ada dongeng menarik nih. Seorang supir truk pengangkut kayu memarkir kendaaraannya di tepi jalan raya di seberang rumahnya di sebuah desa. Dia sedang istirahat makan siang. Tiba-tiba dari ar ah yang berlawanan dengan arah truk tadi, adaseorang pengemudi sepeda motor yang selip menabrak truk yang diparkir itu dan .... tewas seketika. Polisi menahan truk dan pengemudinya itu. Katanya karena kelalaiannya menyebabkan nyawa orang lain melayang. Di tempat lain, seorang pemuda anak pejabat tinggi negara mengemudi dengan kecepatan tinggi dan menabrak mobil di depannya, menyebakan beberapa korban melayang jiwanya. Si pemuda dibebaskan dari hukuman.




















Begitulah gambaran fenomena pemberlakuan hukum di negara – yang ngakunya – hukum, di mana hukum, katanya, harus dijunjung tinggi. 




    (Ooo... merapi dan laut ..., kata Hangcinda)


Senin, 16 Maret 2015

KE SEKOLAH

Melalui Peraturan Pemerintah no 28 tahun 1990 yang ditandatangani oleh pak Harto (presiden RI ke 2) tanggal 10 Juni 1990 menetapkan program wajib belajar 9 tahun. Sudah seperempat abad (= 25 tahun) berlalu, pelaksnaannya masih saja banyak kekurangannya, mulai dari sarana dan prasarana, guru (kuantitas, kualitas dan fasilitas), kurikulum (kurikulum ala Mendiknas M. Nuh hanya berlangsung 6 bulan untuk klas 4 SD). Siapa yang bertanggung jawab? Ga ada. Ganti menteri ganti kebijakan, ganti kurikulum, ya ganti buku.
Lihatah bagaimana anak-anak ini harus menuju ke sekolah.

Ini masih ga seberapa. Ada lagi lho yang lebih mengerikan, sampai sampai harus mempertaruhkan naywa segala. 
Jembatan gantung yang rusak dan amat berbahaya menjadi pilihan tunggal buat anak-anak pergi ke sekolah








Pemerintah setempat tidak berbuat apa-apa, mungkin sibuk ngurusi proyek yang ada duitnya, supaya pimpronya kebagian dan bisa beli mobil baru. Hehe..



Ini ada di Indonesia lho, negara yang sudah 70 tahun merdeka. Lha mbok para koruptor itu disita semua hartanya, lalu duitnya buat bangun jembatan di sini. Atau perusahaan-2 besar yang gembar gembor punya program CSR suruh ngeluarin dananya untuk bikin jembatan. Mungkin mereka lebih suka punya program CSR yang bisa diliput TV dan dilihat banyak orang. Wong CSR itu juga sarana beriklan kok.




Mau sekolah aja susah. Kalau di kota biayanya mahal. Di pelosok harus punya nyawa cadangan.
Kondisi seperti in bahkan terjadi pula di kampung halaman tempat kelashiran Yusuf Kalla.






Selain nyebrang sungai lewat jembatan rusak, ada juga yang harus menembus hutan atau naik perahu. Alam bisa menjadi kendala besar. 































Mudah-mudahan Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi bisa mengatasi ini semua. Demi tujuan "mencerdaskan kehidupan bangsa"



Senin, 09 Maret 2015

BEGAL

Fenomena begal ajdi marak akhir-akhir ini. Langsung bacok atau tembak korbannya dari belakang. Jaman dulu, begal menghadang korbannya dari depan di tengah hutan atau jalan setapak. Korban biasanya berjalan kaki atau naik kereta kuda. Waktu itu begal menggunakan senjata tajam (keris, golok). Ken Arok pun seorang begal yang kemudian bisa menjadi raja Singosari. (Bagaimana dia bisa berhasil mengkudeta Tunggul Ametung, kita bicarakan dalam tulisan berikut ya)




Begal sekarang menggunakan senjata api ysng langsung melukai korbannya dan merampas hartanya.Mungkin lebih efisien, lebih cepat dan lebih sadis. Tidak heran kalau ada begal yang tertangkap massa langsung dihabisi atau dibakar hidup-hidup




Mungkin ada baiknya kalau program 'Petrus' (penembak misterius) diberlakukan lagi. Kalau mengandalkan proses hukum berdasarkan HAM kurang menimbulkan efek jera. Apalagi sekarang cari kerjaan halal juga susah.


Demikian Percik Lazuardi kali ini. Komentar Anda?

Rabu, 04 Maret 2015

PANJAT TEBING


Apa yang dicari orang ini? Bergelantungan di batu pada celah batu di tebing tinggi. Kadang tanpa pengaman apapun. Mengandalkan kekuatan dan kelenturan otot, dan ... keberanian menantang maut. Katanya juga memacu adrenalin. Juga disebut olahraga, extreme sport.

Rasa takut tentu saja ada, dan memang harus ada. Mereka bilang tindakan itu dilakukan justru untuk mengalahkan rasa takut, terhadap ketinggian, terhadap kemungkinan jatuh dan mati. Atau malah terhadap hidup itu sendiri. Kata orang bijak, rasa takut hanya bisa ditaklukkan dengan mengalami dan merasakan terhadap apa yang ditakutkan. Untuk menghilangkan rasa takut terhadap ketinggian, ya naiklah ke tempat yang tinggi itu. Mungkin lebih tepat kalau kita sebut kegamangan, bukan ketakutan.


Setelah sampai di titik yang dituju, apa yang mereka peroleh? Kepuasan, kebanggaan, atau kesombongan?
Atau kekaguman terhadap ciptaan Allah, dan lalu ketakutan dan kepasrahan terhadap Sang Pencipta. Menyadari bahwa kita begitu kecil di hadapan Allah. Bahwa kita hanya sebutir pasir di tengah padang pasir kebesaran Allah. Allahu akbar.
Bahwa kita cuma setetes air di tengah samudra ke-Maha rahim-an Allah. Subhaanallah. Semoga saja begitu.
Karena kesadaran seperti itu seharusnya tidak hanya diperoleh di puncak tebing, tapi di mana-mana. Di pasar, di kampung kumuh, di temapah pembuangan akhir (sampah), di tengah kemelaratan, di kantor ber AC, di mall mewah, di tengah hutan, di dasar tambang, di tengah tsunami, dan banyak tempat lagi.





Keberanian memanjat tebing batu yang tinggi itu tidaklah lebih penting daripada keberanian mengarungi hidup yang serba tidak pasti ini. Tidak ada yang bisa memastikan kapan harga elpiji menjadi normal, harga beras turun dan buruh tidak selalu menuntut kenaikan UMR
Jalani hidup sana seperti kalian memanjat tebing terjal, tinggi dan sulit dengan keberanian, kekuatan dan kelenturan.



Demikian Percik Lazuardi kali ini. Komentar Anda?



















Selasa, 03 Maret 2015

BALI NINE (2)


Pagi ini duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dipindahkan dari Lapas Krobokan, Bali ke Lapas Nusakambangan untuk segera di eksekusi mati. Ada yang tahu berapa biaya pemindahan kedua penjahat ini? Rombongan yang mengawalnya berjumlah 32 orang, terdiri dari 2 regu Brimob dan beberapa petugas dari Depkumham dan Kejaksaan. Kalau tiket pesawat dari Ngurah Rai ke Cilacap sekitar 400rb per orang, maka biayanya akan menvcapai lebih dari 25 juta. Belum lagi biaya pengawalan di darat.


Kenapa ga ditembak di lapangan Puputan Badung aja. Sekalian mengenamg perjuangan warga Denpasar bertempur melawan penjajah Belanda. Ini penjahat Bali Nine  kan juga termasuk kaum penjajah yang juga yang merusak moral anak bangsa.


Biaya mengeksekusi mati mereka, yang baru diduga, teroris pleh Densus 88 mungkin jauh lebih murah. Teroris memang layak ditembak mati kok. Mereka penjahat yang meresahkan bangsa kita. Tapi biayanya itu lho. Kan uang rakyat juga. Tembak mati di lapangan aja, kayak di Cina.

Demikian Percik Lazuardi kali ini. Komentar Anda?