Minggu, 22 Maret 2015

HUKUM BAGI JELATA

Ketika si Jelata dihadapkan sebagai pesakitan, maka ‘hukum’ menampakkan sosoknya yang nyata: tegas, tanpa kompromi, tidak pandang bulu, yang bersalah harus dihukum. Wajah topeng ‘kemanusiaan’pun lantas boleh ditanggalkan. Lihat saja kasus nenek Asyani (70 tahun) si ‘pencuri kayu jati’ di wilayah hutan Perhutani.

Ada banyak kasus serupa. Kata orang, hukum itu seperti piramid terbalik: tajam di bawah, tapi tumpul di atas. Di sebuah kampung yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pengemis, maka menjadi pesuruh kantor merupakan hal yang keliru. Di sebuah negara yang pembabat hutan besar-besaran, pemilik HPH ilegal, dan perampok dana reboisasi hutan bisa lolos dari jerat hukum, maka memungut ranting pohon  yang luruh di dalam hutan jati milik Perhutani bisa dianggap kejahatan besar. Konon kita bisa membeli kayu jati gelondongan dari oknum petugas Perhutani. (Ooo, Gusti nyuwun ngapuro).

'Barang bukti' seperti inilah yang ditemukan petugas Perhutani di rumah pak Cipto, yang, katanya, milik Ayani. Si nenek mengaku bahwa itu adalah kayu miliknya, yang ditebang oleh alharhum suaninya di haran milik mereka, 5 tahun yang lalu. Bagaimana mungkin nenek renta berusia lanjut itu mampu mengangkut kayu sebanyak itu dari gudang Perhutani?





Ada dongeng menarik nih. Seorang supir truk pengangkut kayu memarkir kendaaraannya di tepi jalan raya di seberang rumahnya di sebuah desa. Dia sedang istirahat makan siang. Tiba-tiba dari ar ah yang berlawanan dengan arah truk tadi, adaseorang pengemudi sepeda motor yang selip menabrak truk yang diparkir itu dan .... tewas seketika. Polisi menahan truk dan pengemudinya itu. Katanya karena kelalaiannya menyebabkan nyawa orang lain melayang. Di tempat lain, seorang pemuda anak pejabat tinggi negara mengemudi dengan kecepatan tinggi dan menabrak mobil di depannya, menyebakan beberapa korban melayang jiwanya. Si pemuda dibebaskan dari hukuman.




















Begitulah gambaran fenomena pemberlakuan hukum di negara – yang ngakunya – hukum, di mana hukum, katanya, harus dijunjung tinggi. 




    (Ooo... merapi dan laut ..., kata Hangcinda)


7 komentar:

  1. Mending ngembat Bank Century aja. 6 trilliun lebih ga ada hukuman apa2, Jadi begal motor ya dibakar hidup2. Kalau hukum di Indonesia memang begitu, ya kita ikuti aja hukum rimba ini. Yang punya duit ya yang menang.

    BalasHapus
  2. Tapi ya ga boleh sinis begitu dong. Mari kita perjuangkan dengan cara kita masing2. Hukum itu kan sepoerti sepatu boot tentara. Tangan siap hormat, patuh pada atasan tanpa reserve, dan sepatu pun menginjak segala yang di bawah.

    BalasHapus
  3. Aparat penegak hukum bayak yang kaya. Nurani jadi kering. Ambisi jadi panglima. Pokoke joged

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makanya banyak anak muda yang pingin jadi penegak 'hukum', walaupun harus membayar uang pelicin yang cukup besar. Polisi, Jaksa, Hakim ? Semuanya harus pakai duit biar lancar. Stl itu y ramai2lah gunakan jabatannya untuk kembalikan 'investasi'. Walaupun masih banyak juga sih aparat yang benar2 BERSIH.

      Hapus
  4. Hakim paling Agung dan Bijaksana adalah Gusti Allah. PutusanNya pasti adil seadil-adilnya. Serahkan aja pada Beliau.

    BalasHapus
  5. Lha mbah Yani sudah tua kok repot repot ke pengadilan segal. KUHP aja, mbah

    BalasHapus