Jumat, 27 Februari 2015

BERAS MAHAL


Waktu di SD kita tentu pernah diajari menyanyikan sebuah lagu yang liriknya antara lain : "padi mengembang, kuning merayu.......... tanah yang subur, negeri yang kaya....."
Tikus mati di lumbung padi, kata pepatah. Ga tau kenapa, beras kok jadi mahal. tapi petani makin miskin. Alasan klasik: uaca buruk, sawah kebanjiran, gagal panen. BULOG gimana dong. Kayaknya dulu waktu Bulkog dipimpin pak Bustanil Arifin yang botak itu, kita ga pernah ngalami beras mahal deh.  Malah ekspor beras.


Saatnya kita beralih dan kembali ke bahan makanan selain beras. Ada ubi, singkong, talas, sagu, pisang. Dulu, sebelum revolusi makan nasi ala pak Harto, teman-teman di daerah luar jawa tidak menjadikan beras / nasi sebagai makanan pokok.






Demikian Percik Lazuardi kali ini. Bagaimana pendapat Anda?

Rabu, 25 Februari 2015

ELPIJI LANGKA

Ramai diberitakan kelangkaan Elpiji 3 kg. Di beberapa dareah warga antri untuk mendapatkannya dengan harga yang bisa mencapai Rp 20.000,- per tabung (harga standar di pom bensin Pertamina adalah Rp 14.000,- per tabung). Kejadian biasa yang sering berulang, lebih-lebih kalau ada wacana kenaikan harga.

JK sidak ke Pertamina. Katanya stok Elpiji 3 kg cukup. Lha kok ga sampai ke masyarakat? Yang salah dimana dan siapa?
Dulu kan JK yang punya program konversi minyak tanah ke elpiji. Sekarang, setelah konversi itu berhasil, kok malah dipersulit distribusinya.

Mungkin kita perlu cari alternatif buat pengganti elpiji. bio gas salah satunya. Bisa dari ampas tahu, ampas kelapa, atau kotoran sapi. Teknologinya sederhana tapi bermanfaat.




Atau mau kembali ke teknolgi kuno: kayu bakar. Sulit dapetin bahan bakunya karena hutan sudah dibabat.














.Kalau seperti ini kan asik. Ga ada polusinya.


IBUKOTA KUMUH

Inilah wajah Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia. Pembangunan sarana fisik yang gencar menjadikannya berubah wujudnya menjadi HUTAN BETON. Sejak era Soeharto - Orde Baru, dibangun kota moderen (?) yang tidak berwawasan lingkungan. Laut pun diurug, dijadikan perumahan mewah. Mungkin kemewahan bangunan fisik ini bisa mencitrakan sebuah negara yang maju dan moderen. Walaupun tidak selalu berbanding lurus dengan kemajuan akhlak manusia penghuninya.


Gedung pencakar langit (sky scrappers?) dibangun di pusat kota dan sekarang juga di pinggiran kota. Dulu Kebayoran Baru merupakan kota satelit yang tertata dan hijau. Sekarang sudah jadi hutan beton, bahkan hutan itu sudah merambah ke pinggiran Jakarta




























 Tapi, coba tengok yang ini :
















Ini wajah Jakarta juga lho. Kalau ada tetangga di kampung yang dengan bangga bilang : "aku kerja di Jakarta. Anak2-ku ndak bisa ngomong Jawa, tapi cas-cis-cus lu, gue, ngapain." jangan2 tinggal di perumahan seperti ini.


JAKARTA KOTA TERMACET

Jakarta baru saja dinobatkan sebagai kota paling macet di dunia berdasarkan indeks Castrol's Magnatec Stop-Start. Indeks ini mengukur waktu mobil berhenti dan berjalan per kilometer dan Jakarta berada di peringkat teratas dengan 33.240 kali berhenti-berjalan per tahun.

Cerita seperti ini bukan hal baru buat Jakarta. Saya pernah tinggal di Jakarta tahun 1996-2005, dan sebelumnya tahun 1982-1990. Yang saya alami adalah kemacetan dan banjir. Banyak orang tertarik datang kesana karena terpusatnya pembangunan fisik, kegiatan ekonomi, pemerintahan dan lain-2 di Jakarta. 
Kota lainpun jadi latah ikutan. 
Kota Surabaya berada di tempat keempat, sesudah Istanbul dan Mexico City.


Sudah banyak kajian, seminar, penelitian, dan banyak lagi kegiatan serupa membahas masalah ini. Banyak usulan solusi disampaikan para pakar, tapi ya belum ya belum ada hasilnya keculai gelar Kota Termacet di Dunia. Malam hari pun Jakarta mcet, bro.

Sudah tak terhitung pemborosan BBM yang terjadi sebagai akibatnya. Padahal pemerintah mengeluh besarnya subsidi untuk BBM (ini pernyataan yang debatable sebenarnya). Kalau ada 10% aja warga Jakarta yang mengikuti program "Bike to work", yang dibarengi dengan sarana angkutan massal yang memadai seperti di Singapore misalnya, mungkin agak lumayan nyamanlah jalanan di Jakarta

Memang sangat complicated. Kalau kendaraan dibatasi, bagaimana nasib industrinya. Kayaknya pemerinta DKI lebih baik kerja deh, daripada ber-wacana terus-terusan. Penyanyi Nugie langsung ber "bike to work" tanpa gembar-gembor. Siapa yang mau ngikutin jejaknya? Anda dan saya?


Selasa, 24 Februari 2015

BETUL >< BENAR

Apa bedanya 'betul' dan 'benar'? Mungkin banyak orang akan menjawab bahwa lawan kata dari 'benr' adalah 'salah'. Demikian pula lawan kata dari 'betul' adalah 'salah'. Tapi apakah 'kebetulan' sama dengan 'kebenaran'?. Kayaknya lawan kata dari 'betul' adalah 'keliru'. Kekeliruan dapat dibetulkan (diperbaiki), tapi kesalahan tidak dapat dibenarkan. Orang Inggris lebih jelas membedakannya: TRUE (lawan katany FALSE) dan  RIGHT (lawan katanya WRONG)




Karena kesalahan tidak dapat dibenarkan, maka, lakukan segala sesuatu dengan benar, sehingga Anda tidak perlu menyesal karena melakukan sesuatu yang salah.



Minggu, 22 Februari 2015

BALI NINE

Andrew Chan dan Myuran Sukumaran adalah emigran warga negara Australia yang akan dieksekusi mati di Denpasar. Mereka terbukti bersalah melakukan kejahatan penyelundupan narkoba di wilayah Indonesia. Dan grasinya pun ditolak presiden Jokowi.
Sebetulnya ini berita biasa. Sermuasnya sesuai dengan prosedur dan sistim hukum yang berlaku di Indonesia.
Yang jadi agak luar biasa dalah reaksi pemerintah Australia dan juga pernyataan Sekjen PBB Ban Ki-moon.
Indonesia tidak boleh menyerah dengan tekanan itu. Salahnya sendiri kenapa melakukan kejahatan di Indonesia. Ya itu konsekwensinya. Yang jadi korban kan bangsa Indonesia juga. Betapa banyak anak muda yang terjerak barang haram jadah itu

(Ini gambar orang-orang gebleg: hakim dan jaksa Australia yang menolak eksekusi mati terhadap pejahat narkoba itu.)


Ada satu perenungan yang mungkin bisa dijadikan bahan ngobrol di warung kopi: pemerintah Australia begitu ngotot mempertahankan nyawa 2 orang warganya yang jelas-jelas bersalah. Pemerintah Indonesia - biasanya - tidak sebegitu ngototnya mempertahankan hidup warganya (TKW) yang dihukum mati di Arab atau Malaysia yang jelas-jelas tidak bersalah atau belum tentu bersalah. JANGAN MENYERAH PAK JOKOWI. Bung Karno pernah berujar kepada pemerintah Amerika Serikat: "Go to hell with your aid"

Jumat, 20 Februari 2015

Selasa, 17 Februari 2015

CICAK vs BUAYA jilid ...




KPK berantem lagi sama POLRI. Rakyat bingung siapa yang benar siapa yang salah. Presiden tambah bingung. Mbok sama-sama mawas diri lah. Kalau salah ya ngaku aja salah. Gentleman gitu loh. JKngan malah nyalahin orang lain. Mungkin ini sudah naluri manusia, apalagi manusia Indonesia. Kok ga ada yang BERANI mengaku salah, mengundurkan diri. Ga usah harakiri kayak di Jepang lah. Jadi ga usah ke pengadilan, ngabisin biaya negara dan uang rakyat juga.



Maaf, ini cuma pemikiran rakyat biasa loh. Daripada ribut2, yang ga ada manfaatnya buat rakyat, mending mikir gimana supaya program BPJS lancar jaya, gimana mencegah penggundulan hutan, pencurian ikan, atau perampokan hasil tambang. Gimana supaya ga impor beras, gula, kedele, kacang hijau, buah-buahan, dsb.



Senin, 16 Februari 2015

POLUSI

Saya pernah baca di internet, memanaskan mesin sepeda motor cukup 30 detik, maksimal 1 menit. Untuk mesin injeksi justru tidak perlu dipanaskan. Saya tinggal di rumah petak kontrakan. Tetangga2 saya sering memanaskan sepeda motornya lebih dari 45 menit, dalam keadaan mesin stationer.
Selain mubazir (tindakan sia2), yang sangat tidak dianjurkan (atau malah dilarang) dalam Islam, tindakan ini menimbulkan dampak yang merugikan orang lain dan diri sendiri. Polusi udara dengan 'menyemburkan' gas beracun CO2 ke ruang kamar tetangganya yang notabene mempunyai anak kecil, jelas bukan tindakan terpuji dan ber-etika


Kerugian lain adalah pemborosan bahan bakar. Jangan protes kalau harga BBM naik, lha wong dirinya sendiri ikut memboroskan kok.
Seandainya ada 10% saja pemilik sepeda motor di Indonesia yang BERSEDIA dengan ikhlas untuk memanaskan sepeda motornya setiap pagi tidak lewbih dari 1 menit, tentu akan banyak manfaat yang diperoleh masyarakat.

Kamis, 12 Februari 2015

MAWAR
















Disamping rumahku ada lahan kosong, ga tau punya siapa (punya Gusti Allah katanya). Tumbuh semak belukar liar, masih ada ular, kadal, biawak, dll. Juga ada serumpun mawar liar. Tidak ada yang menanam, menyirami atau memberinya pupuk. Suatu pagi, pas mau jogging, aq liat mawar kuning ini. Subahanallah.
Ga tau kenapa kok Gusti Allah menciptakan bunga seperti in i yang atas kehendakNya pula dapat mekrok indah di tanah liar samping rumahku.
'Tis but thy name that is my enemy;
Thou art thyself, though not a Montague.
What's Montague? it is nor hand, nor foot,
Nor arm, nor face, nor any other part
Belonging to a man. O, be some other name!
What's in a name? that which we call a rose
By any other name would smell as sweet;

So Romeo would, were he not Romeo call'd,
Retain that dear perfection which he owes
Without that title. Romeo, doff thy name,
And for that name which is no part of thee
Take all myself.

Selasa, 10 Februari 2015

JAKARTA BANJIR (LAGI-LAGI)

Jakarta Banjir ??


Lha ini kan sudah berita kejadian rutin tiap tahun. Sejak Ali Sadikin hingga Ahok. Bahkan Benyamin pernah membuat lagu "Jakarta Kebanjiran". Penyebab banjir sudah banyak ter-identifikasi, para ahli ditangkan, banyak survey telah dilakukan, berbagai seminar diadakan, dan sekian banyak konsultan didatangkan dari berbagai negara (termasuk studi banding juga). Tapi, ya itulah hasilnya : JAKARTA BANJIR.
Bagaimana dengan pembangunan? Resapan air diurug jadi perumahan mewah.Orang kaya tinggal disitu bebas banjir.
 Rakyat sekitar terima hadiah banjir tiap tahun, dan disalahkan karena buang sampah sembarangan, membangun rumah liar di sungai, tidak mau dibuatkan sodetan sungai, dan macam-macam lagi. Jakarta pun tetap banjir.
Jokowi mengundang Ahok bahas banjir ibukota. Rupanya banjir Jakarta sudah jadi masalah nasional, jadi urusan presiden. Lha Jokowi kok masih berpikir sebagai gubernur, ya.
Mudaha-mudahan urusan cepat selesai, dan kita tunggu 3 tahun lagi.


Minggu, 08 Februari 2015

KEMISKINAN (1)


Multatuli (Dr. Eduard Douwes Dekker) pernah menulis: “ Yang utama adalah HIDUP, sekalipun hidup melarat. Kejahatan memalukan, bukan kemiskinan”. Tak seorang pun di antara kita yang mau menjadi miskin secara materi. Kita ingin hidup layak, sejahtera, cukup memenuhi kebutuhan hidup, walaupun tidak kaya. Semuanya amat relatif. Buat saya mungkin dengan Rp 3 juta bisa memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga (1 istri dan 1 anak). Bagi orang lain dengan jumlah jiwa yang sama, mungkin butuh Rp 7 juta (seperti keputusan pengadilan menghukum Bopak untuk menyantuni bekas istri dan anaknya). Buruh menuntut Rp 3,7 juta per bulan. Lha bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan Rp 10 ribu per hari?
Makanya banyak orang memilih melakukan kejahatan, walaupun memalukan, daripada hidup melarat. Para koruptor juga begitu. Bagi mereka penghasilan Rp 50 juta per bulan adalah kemiskinan. Dan lalu mereka korupsi supaya bisa berpenghasilan milyaran, bahkan trilyunan.

Kawan, kemiskinan dalam artian sebenarnya sudah menjadi struktural. Protestant Ehics (etika penganut Kristen Protestan) yang melandasi aliran kapitalisme beranggapan kemiskinan adalah akibat dari kemalasan. Jadi kalau kamu ingin kaya, kamu harus bekerja. Kalau malas bekerja ya jadi miskin. Masalahnya sekarang adalah ada orang yang malas bekerja bisa jadi kaya, sementara yang rajin pun (tukang becak misalnya) ya tetap miskin. Ini juga terkait masalah marjinalisasi.


Simaklah sajak Rendra berikut ini. Apa yang ditulis Rendra hampir 40 tahun silam itu rasanya masih relevan hingga kini. 70 tahun kita merdeka; dan persoalan itu masih tetap ada.


ORANG-ORANG MISKIN
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978
WS Rendra


Minggu, 01 Februari 2015

Pengemis kota


Mengemis adalah perbuatan meminta sesuatu, biasanya uang, kepada orang lain. Dengan mengharap belas kasihan dan keikhlasan si pemberi, ‘sak welasé’.
Keberadaan pengemis di kota besar sudah jadi masalah sosial yang cukup ‘mengganggu’ sampai-sampai Kepala Daerah setempat (ibukota misalnya) harus mengagendakannya dan menugaskan Satpol PP untuk men-’sweeping’ gepeng (gelandangan dan pengemis) dari jalan-jalan protokol.
Pengemis bahkan sudah menjadi profesi. Barusan ramai diberitakan seorang pengemis yang ketika di’sweeping kedapatan membawa uang Rp 25 juta (!) hasil kerjanya selama sehari itu. Di desanya pengemis itu dikenal sebagai orang kaya yang memiliki rumah mewah. Suatu profesi yang amat menjanjikan, walaupun harus berpanas-panas di bawah terik matahari atau kehujanan.

Para pengemis ibukota biasanya terkoordinasikan. Mereka dikontrakkan rumah, dan tiap hari diantar dengan mobil ke berbagai sudut kota dengan ‘pakaian seragam’ dan akhir hari akan dijemput dengan mobil pula. Pendapatan mereka hari itu (ada sales target nya lho) akan dicatat setelah dipotong ‘royalty’ untuk koordinatornya. Saat mudik lebaran mereka bisa menyewa bis eksekutif ber-AC sambil membawa hasil kerja mereka selama setahun dan membangun rumah, membeli sawah, mobil, sepeda motor dan perhiasan emas.


Tapi tentu saja masih banyak pengemis yang benar-benar miskin. Mereka memang tidak punya pilihan lain untuk mendapatkan nafkahnya. Kalau untuk yang begini ini, ya tugas pemerintah (Kementrian Sosial) untuk menangani dan mengentaskannya.
Memang cukup pelik masalah pengemis ini. Apa yang bisa kita lakukan. Di berbagai sudut kota sering terlihat spanduk bertuliskan : “Jangan beri uang kepada peminta-minta. Beri mereka pekerjaan.” Imbauan ini tentu tidak berarti apa-apa bagi yang menjadikan mengemis sebagai profesi. Lha wong mefreka kan sudah punya pekerjaan tetap dengan penghasilan luar biasa, melebihi gaji PNS golongan IIIA (sarjana).

Ga usah nyalahin siapa-siapa. Kalau kamu ga mau berkontribusi dalam program ‘pengemis kaya’ tersebut ya ga usah kasih uang. Bagi yang merasa nyaman dengan profesinya sebagai pengemis, ya cobalah untuk ber-wiraswasta dan beralih profesi dengan modal yang sudah kalian kumpulkan dari profesi itu (yang cukup banyak pula jumlahnya). Yang masih mengemis, ya jangan di jalanan yang berbahaya bagi keselamatanmu maupun pengguna jalan lainnya.

Pengemis itu sekarang ada di mana-mana kok. Di kantor pemerintah, misalnya. Liat aja setiap ada kegiatan pemda, ultah kabupaten misalnya, pasti ada tim yang mendatangai perusahaan-perusahaan untuk minta ‘sumbangan wajib’ (sumbangan kan harusnya sukarela, tapi ini wajib) dengan jumlah tertentu. Istilahnya memang sumbangan, tapi sama aja dengan mengemis. Masih mendingan pengemis yang minta ‘sak welasé’. Atau intitusi lainnya yang ‘memaksa’ kita membeli undangan atau kalender sejumlah yang mereka tentukan.
Jadi, lebih kita bertindak bijak dalam menyikapinya. 



(foto-foto dalam tulisan ini diambil dari Google Image. Mohon ijin pada teman-teman yang sudah mem-postingnya)