Senin, 04 Mei 2015

MAY DAY

Peringatan Hari Buruh International diisi dengan demo minta upah naik (lagi). Kebutuhan hidup minimum harus ditambah dengan TV LED 19 inci, nonton bioskop, parfum, pulsa handphone. Kok ga sekalian buat beli motor dan rumah aja, bro.


Pengusahanya lalu ngancam mau merelokasi pabriknya ke Kamboja, Vietnam atau Thailand yang upah buruhnya lebih murah. Di Asia Tenggara upah buruh Indonesia hanya kalah (maksudnya sedikit lebih murah) dari Malaysia dan Singapore). Tapi produktivitas buruh Indonesia justru masih belum tinggi.


Mbok yang realistis aja, kawanb. Masih banyak lho teman-temanmu yang nganggur. Jangan tambah jumlah mereka akibat PHK.


Kalau sudah kayak gini, buruhnya ga ada karena pengusaha ga mampu bayar UMK, siapa juga yang rugi
SELAMAT HRAI BURUH, deh




RESHUFFLE ....... (lagi-lagi)

Pagi-pagi nonton acara berita di TV One, kok kata pengamat politik n ekonomi, Kabinet Kerja perlu segera di reshuffle. Wah.... setiap ganti presdien kok isyunya selalu begitu. Bosen, ah. Lha,  Kabinet Kerja yang katanya paling ideal itu, kan harusnya canggih ya.






Lihat bagaimana mereka diperkenlkan oleh Presiden Jokowi di Istana Bogor. (Oh, ya Presiden lebih suka berkantor disini - hawanya sejuk - daripada di Istana Negara, yang sekarang diganti namanya menjadi Istana Kepresidenan).

Katanya lagi, Jokowi lebih mementingkan output daripada input dan proses. Jadinya ga ada yang mikirin input, proses, koordinasi dan eksekusinya. Menterinya jalan sendiri-sendiri, walaupun sudah ada 4 Menko.
Beberapa menteri dianggap tidak punya kompetensi yang cukup di bidangnya. Ada yang tidak tahu job-desc nya apa, ada yang bingung menerjemahkan maunya si Presdien. Apa perlu ganti nama jadi Kabinet Bingung?
Setiap ganti pemerintahan kok kayak gini ya?





Rakyat jadi bingung. Harga BBM naik turun. Kurs rupiah terhadap dolar juga naik turun. Seperti main yoyo, kata pengamat. Buat rakyat, yang penting adalah kestabilan (harga, supply kebutuhan pokok, biaya sekolah, keamanan), mudah cari kerja, biaya hidup terjangkau.

Bagaimana menurut kalian?












Jumat, 24 April 2015

PERTALITE DATANG, PREMIUM HILANG?



Dasar Pertamina. Mau naikkan harga BBM aja pakai trik macem2. Yang RONnya terlalu rendah lah, tidak ramah lingkungan lah. Premium RON nya cuma 88, tapi di jaman Orde Baru 76-86, dan di Amerika masih ada lho yang 87. Tapi ga ada tuh laporan mesin mobil yang rusak gara-gara menggunakan BBM dengan RON < 90.



Sebelum persoalan tambah runyam, buru-buru Dirut Pertamina Dwi Sucipto memberi keterangan bahwa Premium tidak dihapus. Pertalite dipasarkan karena adanya sisa bahan produksi (apa namanya aku lupa), yang dengan menambahkan additif RONnya bisa jadi 87-90 (di atas premium tapi masih di bawah Pertamax) dan harganya jadi sedikit lebih mahal dari Premium (tapi masih di bawah Pertamax). Padahal, menurut beberapa pakar, seharusnya harga Pertalite bias di bawah Premium.



Katanya juga untuk mengurangi subsidi pada premium. Berdasarkan simulasi yang pernah saya lihat, dengan asumsi harga minyak dunia 60 USD/barrel, kurs 1 USD = Rp 13.000,- dan harga premium (saat ini) Rp 7.400,-/liter, Pertamina sudah untung Rp 650 milyar/hari. Subsidi dari mana?




Bagaimana juga dengan berita adanya BBM yang diselundupkan ke luar negeri dengan cara memasang pipa bawah laut dari kilang minyak langsung ke kapal tanker penyelundup itu? 






Atau menyedot langsung dari kapal tanker Pertamina?











Ya sudah, kita ga usah berdebat soal ini. Yang penting gimana Pertamina bisa melaksanakan kehendak rakyat yang tercantum dalam UUD 1945: memanfaatkan kekayaan alam Indonesia sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat banyak. Dulu JK bikin kebijakan mengkonversi minyak tanah ke elpiji, sekarang harga elpiji dinaikkan. Mau pakai kayu bakar, hutan sudah dibabat habis, pakai batubara, batubaranya dikeruka habis-habisan dan dijual ke luar negeri. Oh, iya pakai biogas aja, atau bio solar (yang dibuat dari minyak biji jarak atau cangkang buah kelapa sawit?).







Rakyat maunya cuma hidup nyaman, tenang, harga kebutuhan hidup (termasuk BBM) cukup terjangkau, ga ada korupsi, ga dibohongi dan dibodohi pejabat. Wis, gitu aja


Minggu, 12 April 2015

AKIK ... OOO ... AKIK

Sepengetahuanku sejak kecil aku mengenal akik sebagai batuan biasa, lalu digosok hingga mengkilat dan dijadikan mata cincin laki-laki. Di Martapura, Kalimantan Selatan, banyak pengrajin batu akik. Kalau liburan, dengan teman-teman aku main di sungai yang dangkal airnya dan banyak batuan. Kami memilih yang menarik warnanya, hitam, hijau lumut, merah hati, coklat susu, merah muda, lalu membawanya ke tukang gosok batu dan membuatnya jadi batu perhiasan.

Biasanya di sungai sungai yang menjadi aliran lahar seperti di kaki gunung Merapi, Yogyakarta, banyak dijumpai batuan yang ketika digosok kan menjadi akik.










Batu akik sebenarnya merupakan sedimen kulit bumi yang berasal dari magma gunung berapi (panasnya tinggi sekali tentunya) lalu mendapat tekanan yang cukup tinggi. Batuan ini umumnya bersifat anorganik. Yang organik menjadi barang tambang, batubara misalnya.Sedangkan batu mulia yang aku kenal antara lain blue saphire, intan, alexandrie. Tentu saja harganya cukup mahal, karena langka dan agak sulit menggosoknya.  Harganya bisa ratusan juta hingga milyaran rupiah.

Lha sekarang kok akik jadi barang yang amat mahal dan diburu banyak orang. Kadang hingga mempertaruhkan naywa segala. Lihatlah berita di TV. Banyak orang menyerbu lahan kosong di Depok, beebut menggali tanah untuk mendapatkan akik. Ada lagi yang berbondong-bondong ke bukit di Sumatera. Dan, jatuhlah korban karena tanah bukit longsor.









Fenomena apa ini? Orang jaman sekarang mudah terpukau oleh sesuatu yang belum tentu benar. Akik bisa mendatangkan rezeki, bisa memberikan wibawa, bisa menyembuhkan penyakit, bisa memperlancar bisnis, bisa mendatangkan jodoh. Wah, kalau gini ya akik sudah jadi klenik. Musrik hukumnya. Ingat kasus Ponari di Jombang dulu? Dengan sebuah batu yang dimilikinya bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Astagfirullah.
Orangpun mau-maunya membayar mahal untuk sebuah batu. Bisa ratusan juta lho. Bahkan fenomena ini sampai mengilhami penulis skenario macam H. Imam Tantowi untuk memasukkannya dalam script sinetronnya.





Tapi, namanya jug trend. Sebentar juga akan pudar. Dulu ikan lohan (ikan buruk rupa yang jidatnya benjol itu) luar biasa menyedot perhatian dan mahal harganya. Teman saya yang peternak lohan akhirnya membuangnya ratusan ikan lohan ke sungai. Karena harganya yang merosot setelah trend nya berlalu.




Jangan-jangan, saya curiga, karena hidup tambah sulit, cari kerjaan susah, harga-harga (BBM, elpiji, sembako, elektronik, sepeda motor matic, cabe, beras, ongkos angkot, dll) pada naik semua ga mau turun, banyak orang mulai berpikir pendek. Cari batu aja, kalau dapet kan lumayan duitnya. Tanpa memperhitungkan risiko dan keselamatan dirinya.
Batu ya cuma batu, apun namanya.



                                         

Senin, 30 Maret 2015

HUTANKU DERITAKU










Anda terkesan dengan pemandangan didalam hutan tropis seperti ini? Mungkin dulu masih banyak kerimbunan huitan yang dapat kita nikmati, tapi sekarang?

Atau keindahan hutan lainnya seperti yang ini:


























atau ini :























Pagi hingga sore hari daun-daunnya yang lebat akan memproduksi oksigen dalam jumlah besar. Jika anda suka berlatih untuk mengaktifkan tenaga dalam dengan memanfaatkan aura positif dalam tubuh anda, berbaringlah di rerumputan yang basah oleh embun dalam hutan ini, dan hiruplah udara segar di sekitar anda. Selain oksigen tubuh anda juga akan menyerap aura positif yang dipancarkan oleh pohon-pohon tinggi di sekeliling anda.

Tapi, apa yang bisa anda dapatkan dari hutan yang sengaja dirusak seperti ini?




















Memang, negara mendapatkan devisa dari pembabatan hutan ini. Tapi pejabatnya juga dapat uang dari para cukong yang mendapatkan HPH secara kurang wajar dan kurang ajar. Rakyat, seperti kita, hanya dapat tanah longsor, banjir, asap dari kebakaran hutan, punahnya banyak flora dan fauna langka. Kalau kita ngambil beberapa potong kayu (masih ingat kasus nenek Asyani kan?) hukuman penjara lah yang didapat.
SELAMATKAN HUTAN KITA !




Minggu, 22 Maret 2015

HUKUM BAGI JELATA

Ketika si Jelata dihadapkan sebagai pesakitan, maka ‘hukum’ menampakkan sosoknya yang nyata: tegas, tanpa kompromi, tidak pandang bulu, yang bersalah harus dihukum. Wajah topeng ‘kemanusiaan’pun lantas boleh ditanggalkan. Lihat saja kasus nenek Asyani (70 tahun) si ‘pencuri kayu jati’ di wilayah hutan Perhutani.

Ada banyak kasus serupa. Kata orang, hukum itu seperti piramid terbalik: tajam di bawah, tapi tumpul di atas. Di sebuah kampung yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pengemis, maka menjadi pesuruh kantor merupakan hal yang keliru. Di sebuah negara yang pembabat hutan besar-besaran, pemilik HPH ilegal, dan perampok dana reboisasi hutan bisa lolos dari jerat hukum, maka memungut ranting pohon  yang luruh di dalam hutan jati milik Perhutani bisa dianggap kejahatan besar. Konon kita bisa membeli kayu jati gelondongan dari oknum petugas Perhutani. (Ooo, Gusti nyuwun ngapuro).

'Barang bukti' seperti inilah yang ditemukan petugas Perhutani di rumah pak Cipto, yang, katanya, milik Ayani. Si nenek mengaku bahwa itu adalah kayu miliknya, yang ditebang oleh alharhum suaninya di haran milik mereka, 5 tahun yang lalu. Bagaimana mungkin nenek renta berusia lanjut itu mampu mengangkut kayu sebanyak itu dari gudang Perhutani?





Ada dongeng menarik nih. Seorang supir truk pengangkut kayu memarkir kendaaraannya di tepi jalan raya di seberang rumahnya di sebuah desa. Dia sedang istirahat makan siang. Tiba-tiba dari ar ah yang berlawanan dengan arah truk tadi, adaseorang pengemudi sepeda motor yang selip menabrak truk yang diparkir itu dan .... tewas seketika. Polisi menahan truk dan pengemudinya itu. Katanya karena kelalaiannya menyebabkan nyawa orang lain melayang. Di tempat lain, seorang pemuda anak pejabat tinggi negara mengemudi dengan kecepatan tinggi dan menabrak mobil di depannya, menyebakan beberapa korban melayang jiwanya. Si pemuda dibebaskan dari hukuman.




















Begitulah gambaran fenomena pemberlakuan hukum di negara – yang ngakunya – hukum, di mana hukum, katanya, harus dijunjung tinggi. 




    (Ooo... merapi dan laut ..., kata Hangcinda)


Senin, 16 Maret 2015

KE SEKOLAH

Melalui Peraturan Pemerintah no 28 tahun 1990 yang ditandatangani oleh pak Harto (presiden RI ke 2) tanggal 10 Juni 1990 menetapkan program wajib belajar 9 tahun. Sudah seperempat abad (= 25 tahun) berlalu, pelaksnaannya masih saja banyak kekurangannya, mulai dari sarana dan prasarana, guru (kuantitas, kualitas dan fasilitas), kurikulum (kurikulum ala Mendiknas M. Nuh hanya berlangsung 6 bulan untuk klas 4 SD). Siapa yang bertanggung jawab? Ga ada. Ganti menteri ganti kebijakan, ganti kurikulum, ya ganti buku.
Lihatah bagaimana anak-anak ini harus menuju ke sekolah.

Ini masih ga seberapa. Ada lagi lho yang lebih mengerikan, sampai sampai harus mempertaruhkan naywa segala. 
Jembatan gantung yang rusak dan amat berbahaya menjadi pilihan tunggal buat anak-anak pergi ke sekolah








Pemerintah setempat tidak berbuat apa-apa, mungkin sibuk ngurusi proyek yang ada duitnya, supaya pimpronya kebagian dan bisa beli mobil baru. Hehe..



Ini ada di Indonesia lho, negara yang sudah 70 tahun merdeka. Lha mbok para koruptor itu disita semua hartanya, lalu duitnya buat bangun jembatan di sini. Atau perusahaan-2 besar yang gembar gembor punya program CSR suruh ngeluarin dananya untuk bikin jembatan. Mungkin mereka lebih suka punya program CSR yang bisa diliput TV dan dilihat banyak orang. Wong CSR itu juga sarana beriklan kok.




Mau sekolah aja susah. Kalau di kota biayanya mahal. Di pelosok harus punya nyawa cadangan.
Kondisi seperti in bahkan terjadi pula di kampung halaman tempat kelashiran Yusuf Kalla.






Selain nyebrang sungai lewat jembatan rusak, ada juga yang harus menembus hutan atau naik perahu. Alam bisa menjadi kendala besar. 































Mudah-mudahan Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi bisa mengatasi ini semua. Demi tujuan "mencerdaskan kehidupan bangsa"



Senin, 09 Maret 2015

BEGAL

Fenomena begal ajdi marak akhir-akhir ini. Langsung bacok atau tembak korbannya dari belakang. Jaman dulu, begal menghadang korbannya dari depan di tengah hutan atau jalan setapak. Korban biasanya berjalan kaki atau naik kereta kuda. Waktu itu begal menggunakan senjata tajam (keris, golok). Ken Arok pun seorang begal yang kemudian bisa menjadi raja Singosari. (Bagaimana dia bisa berhasil mengkudeta Tunggul Ametung, kita bicarakan dalam tulisan berikut ya)




Begal sekarang menggunakan senjata api ysng langsung melukai korbannya dan merampas hartanya.Mungkin lebih efisien, lebih cepat dan lebih sadis. Tidak heran kalau ada begal yang tertangkap massa langsung dihabisi atau dibakar hidup-hidup




Mungkin ada baiknya kalau program 'Petrus' (penembak misterius) diberlakukan lagi. Kalau mengandalkan proses hukum berdasarkan HAM kurang menimbulkan efek jera. Apalagi sekarang cari kerjaan halal juga susah.


Demikian Percik Lazuardi kali ini. Komentar Anda?

Rabu, 04 Maret 2015

PANJAT TEBING


Apa yang dicari orang ini? Bergelantungan di batu pada celah batu di tebing tinggi. Kadang tanpa pengaman apapun. Mengandalkan kekuatan dan kelenturan otot, dan ... keberanian menantang maut. Katanya juga memacu adrenalin. Juga disebut olahraga, extreme sport.

Rasa takut tentu saja ada, dan memang harus ada. Mereka bilang tindakan itu dilakukan justru untuk mengalahkan rasa takut, terhadap ketinggian, terhadap kemungkinan jatuh dan mati. Atau malah terhadap hidup itu sendiri. Kata orang bijak, rasa takut hanya bisa ditaklukkan dengan mengalami dan merasakan terhadap apa yang ditakutkan. Untuk menghilangkan rasa takut terhadap ketinggian, ya naiklah ke tempat yang tinggi itu. Mungkin lebih tepat kalau kita sebut kegamangan, bukan ketakutan.


Setelah sampai di titik yang dituju, apa yang mereka peroleh? Kepuasan, kebanggaan, atau kesombongan?
Atau kekaguman terhadap ciptaan Allah, dan lalu ketakutan dan kepasrahan terhadap Sang Pencipta. Menyadari bahwa kita begitu kecil di hadapan Allah. Bahwa kita hanya sebutir pasir di tengah padang pasir kebesaran Allah. Allahu akbar.
Bahwa kita cuma setetes air di tengah samudra ke-Maha rahim-an Allah. Subhaanallah. Semoga saja begitu.
Karena kesadaran seperti itu seharusnya tidak hanya diperoleh di puncak tebing, tapi di mana-mana. Di pasar, di kampung kumuh, di temapah pembuangan akhir (sampah), di tengah kemelaratan, di kantor ber AC, di mall mewah, di tengah hutan, di dasar tambang, di tengah tsunami, dan banyak tempat lagi.





Keberanian memanjat tebing batu yang tinggi itu tidaklah lebih penting daripada keberanian mengarungi hidup yang serba tidak pasti ini. Tidak ada yang bisa memastikan kapan harga elpiji menjadi normal, harga beras turun dan buruh tidak selalu menuntut kenaikan UMR
Jalani hidup sana seperti kalian memanjat tebing terjal, tinggi dan sulit dengan keberanian, kekuatan dan kelenturan.



Demikian Percik Lazuardi kali ini. Komentar Anda?



















Selasa, 03 Maret 2015

BALI NINE (2)


Pagi ini duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dipindahkan dari Lapas Krobokan, Bali ke Lapas Nusakambangan untuk segera di eksekusi mati. Ada yang tahu berapa biaya pemindahan kedua penjahat ini? Rombongan yang mengawalnya berjumlah 32 orang, terdiri dari 2 regu Brimob dan beberapa petugas dari Depkumham dan Kejaksaan. Kalau tiket pesawat dari Ngurah Rai ke Cilacap sekitar 400rb per orang, maka biayanya akan menvcapai lebih dari 25 juta. Belum lagi biaya pengawalan di darat.


Kenapa ga ditembak di lapangan Puputan Badung aja. Sekalian mengenamg perjuangan warga Denpasar bertempur melawan penjajah Belanda. Ini penjahat Bali Nine  kan juga termasuk kaum penjajah yang juga yang merusak moral anak bangsa.


Biaya mengeksekusi mati mereka, yang baru diduga, teroris pleh Densus 88 mungkin jauh lebih murah. Teroris memang layak ditembak mati kok. Mereka penjahat yang meresahkan bangsa kita. Tapi biayanya itu lho. Kan uang rakyat juga. Tembak mati di lapangan aja, kayak di Cina.

Demikian Percik Lazuardi kali ini. Komentar Anda?








Jumat, 27 Februari 2015

BERAS MAHAL


Waktu di SD kita tentu pernah diajari menyanyikan sebuah lagu yang liriknya antara lain : "padi mengembang, kuning merayu.......... tanah yang subur, negeri yang kaya....."
Tikus mati di lumbung padi, kata pepatah. Ga tau kenapa, beras kok jadi mahal. tapi petani makin miskin. Alasan klasik: uaca buruk, sawah kebanjiran, gagal panen. BULOG gimana dong. Kayaknya dulu waktu Bulkog dipimpin pak Bustanil Arifin yang botak itu, kita ga pernah ngalami beras mahal deh.  Malah ekspor beras.


Saatnya kita beralih dan kembali ke bahan makanan selain beras. Ada ubi, singkong, talas, sagu, pisang. Dulu, sebelum revolusi makan nasi ala pak Harto, teman-teman di daerah luar jawa tidak menjadikan beras / nasi sebagai makanan pokok.






Demikian Percik Lazuardi kali ini. Bagaimana pendapat Anda?