Minggu, 01 Februari 2015

Pengemis kota


Mengemis adalah perbuatan meminta sesuatu, biasanya uang, kepada orang lain. Dengan mengharap belas kasihan dan keikhlasan si pemberi, ‘sak welasé’.
Keberadaan pengemis di kota besar sudah jadi masalah sosial yang cukup ‘mengganggu’ sampai-sampai Kepala Daerah setempat (ibukota misalnya) harus mengagendakannya dan menugaskan Satpol PP untuk men-’sweeping’ gepeng (gelandangan dan pengemis) dari jalan-jalan protokol.
Pengemis bahkan sudah menjadi profesi. Barusan ramai diberitakan seorang pengemis yang ketika di’sweeping kedapatan membawa uang Rp 25 juta (!) hasil kerjanya selama sehari itu. Di desanya pengemis itu dikenal sebagai orang kaya yang memiliki rumah mewah. Suatu profesi yang amat menjanjikan, walaupun harus berpanas-panas di bawah terik matahari atau kehujanan.

Para pengemis ibukota biasanya terkoordinasikan. Mereka dikontrakkan rumah, dan tiap hari diantar dengan mobil ke berbagai sudut kota dengan ‘pakaian seragam’ dan akhir hari akan dijemput dengan mobil pula. Pendapatan mereka hari itu (ada sales target nya lho) akan dicatat setelah dipotong ‘royalty’ untuk koordinatornya. Saat mudik lebaran mereka bisa menyewa bis eksekutif ber-AC sambil membawa hasil kerja mereka selama setahun dan membangun rumah, membeli sawah, mobil, sepeda motor dan perhiasan emas.


Tapi tentu saja masih banyak pengemis yang benar-benar miskin. Mereka memang tidak punya pilihan lain untuk mendapatkan nafkahnya. Kalau untuk yang begini ini, ya tugas pemerintah (Kementrian Sosial) untuk menangani dan mengentaskannya.
Memang cukup pelik masalah pengemis ini. Apa yang bisa kita lakukan. Di berbagai sudut kota sering terlihat spanduk bertuliskan : “Jangan beri uang kepada peminta-minta. Beri mereka pekerjaan.” Imbauan ini tentu tidak berarti apa-apa bagi yang menjadikan mengemis sebagai profesi. Lha wong mefreka kan sudah punya pekerjaan tetap dengan penghasilan luar biasa, melebihi gaji PNS golongan IIIA (sarjana).

Ga usah nyalahin siapa-siapa. Kalau kamu ga mau berkontribusi dalam program ‘pengemis kaya’ tersebut ya ga usah kasih uang. Bagi yang merasa nyaman dengan profesinya sebagai pengemis, ya cobalah untuk ber-wiraswasta dan beralih profesi dengan modal yang sudah kalian kumpulkan dari profesi itu (yang cukup banyak pula jumlahnya). Yang masih mengemis, ya jangan di jalanan yang berbahaya bagi keselamatanmu maupun pengguna jalan lainnya.

Pengemis itu sekarang ada di mana-mana kok. Di kantor pemerintah, misalnya. Liat aja setiap ada kegiatan pemda, ultah kabupaten misalnya, pasti ada tim yang mendatangai perusahaan-perusahaan untuk minta ‘sumbangan wajib’ (sumbangan kan harusnya sukarela, tapi ini wajib) dengan jumlah tertentu. Istilahnya memang sumbangan, tapi sama aja dengan mengemis. Masih mendingan pengemis yang minta ‘sak welasé’. Atau intitusi lainnya yang ‘memaksa’ kita membeli undangan atau kalender sejumlah yang mereka tentukan.
Jadi, lebih kita bertindak bijak dalam menyikapinya. 



(foto-foto dalam tulisan ini diambil dari Google Image. Mohon ijin pada teman-teman yang sudah mem-postingnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar