Minggu, 08 Februari 2015

KEMISKINAN (1)


Multatuli (Dr. Eduard Douwes Dekker) pernah menulis: “ Yang utama adalah HIDUP, sekalipun hidup melarat. Kejahatan memalukan, bukan kemiskinan”. Tak seorang pun di antara kita yang mau menjadi miskin secara materi. Kita ingin hidup layak, sejahtera, cukup memenuhi kebutuhan hidup, walaupun tidak kaya. Semuanya amat relatif. Buat saya mungkin dengan Rp 3 juta bisa memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga (1 istri dan 1 anak). Bagi orang lain dengan jumlah jiwa yang sama, mungkin butuh Rp 7 juta (seperti keputusan pengadilan menghukum Bopak untuk menyantuni bekas istri dan anaknya). Buruh menuntut Rp 3,7 juta per bulan. Lha bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan Rp 10 ribu per hari?
Makanya banyak orang memilih melakukan kejahatan, walaupun memalukan, daripada hidup melarat. Para koruptor juga begitu. Bagi mereka penghasilan Rp 50 juta per bulan adalah kemiskinan. Dan lalu mereka korupsi supaya bisa berpenghasilan milyaran, bahkan trilyunan.

Kawan, kemiskinan dalam artian sebenarnya sudah menjadi struktural. Protestant Ehics (etika penganut Kristen Protestan) yang melandasi aliran kapitalisme beranggapan kemiskinan adalah akibat dari kemalasan. Jadi kalau kamu ingin kaya, kamu harus bekerja. Kalau malas bekerja ya jadi miskin. Masalahnya sekarang adalah ada orang yang malas bekerja bisa jadi kaya, sementara yang rajin pun (tukang becak misalnya) ya tetap miskin. Ini juga terkait masalah marjinalisasi.


Simaklah sajak Rendra berikut ini. Apa yang ditulis Rendra hampir 40 tahun silam itu rasanya masih relevan hingga kini. 70 tahun kita merdeka; dan persoalan itu masih tetap ada.


ORANG-ORANG MISKIN
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978
WS Rendra


Tidak ada komentar:

Posting Komentar